berita4.di, JAKARTA – Sejumlah persoalan muncul dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2023. Proses PPDB yang berbasis zonasi atau jarak rumah siswa dengan sekolah dinilai masih sarat dengan persoalan. Regulasi PPDB yaitu Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 diusulkan untuk direvisi atau dicabut.
Usulan tersebut disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Unaid Matraji. Dia menjelaskan selama ini PPDB tidak pernah dievaluasi atau diaudit.
“Permendikbud tentang PPDB terakhir diterbitkan tahun 2021. Tapi hingga kini, belum juga direvisi, padahal jelas memakan banyak korban karena ketidakadilan yang sistemik,” ujarnya dikutip dari Jawapos.com Kamis (13/7).
Ubaid mengatakan Kemendikbudristek malah mengklaim secara sepihak, bahwa sistem ini adalah sistem terbaik dan untuk pemerataan akses dan mutu. Pada kenyataannya, sampai tahun ini pendaftar PPDB masih saja numpuk di sekolah-sekolah unggulan dan favorit. Bahkan beragam modus supaya bisa tembus zonasi sekolah favorit dilakukan. Seperti numpang Kartu Keluarga (KK), membuat alamat fiktif, dan lainnya.
“Untuk perbaikan ke depan, kami memberikan beberapa rekomendasi,” katanya.
Diantaranya adalah Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 harus direvisi dan diganti dengan aturan baru yang jelas dan berkeadilan. Kemudian untuk memastikan semua anak kebagian jatah kursi di sekolah, Permendikbud tentang PPDB (yang baru) sebagai acuan utama, harus mewajibakan semua Pemda untuk melibatkan sekolah swasta saat PPDB, di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA.
“Ini penting karena kuota kursi di negeri sangat minim,” katanya.
Kuota kursi yang disediakan pemerintah saat PPDB, harus sebanding dengan jumlah kebutuhan. Selain itu Ubaid meminta jangan lagi menggunakan “sistem seleksi” dalam aturan PPDB yang baru. Sebaliknya gunakan sistem yang berkeadilan yang memastikan “no one left behind” dalam pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Sorotan terhadap geger PPDB di sejumlah lokasi juga disampaikan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal. Dia mengatakan persoalan PPDB berbasis zonasi bakal terus muncul, selama belum ada pemerataan pendidikan.
“Pemerintah seharusnya meratakan dulu kualitas pendidikan,” tandasnya.
Dengan adanya pemerataan kualitas pendidikan itu, masyarakat tidak akan nekat melanggar aturan supaya anaknya bisa diterima di sekolah unggulan. Pasalnya semua sekolah kualitasnya sama atau sama-sama unggulan. Tidak seperti sekarang, yang umumnya hanya ada satu sampai lima sekolah unggulan di setiap kabupaten atau kota.
Akibat masih belum ada pemerataan kualitas pendidikan atau sekolah itu, sampai saat ini masih dikenal adanya sekolah unggulan atau sekolah favorit. Mirisnya ada anak yang secara jarak, rumahnya dekat dengan sekolah unggulan tapi kegeser tidak bisa masuk. Pasalnya harus berebut dengan anak-anak yang rumahnya jauh dari sekolah, tetapi menumpang KK atau praktik sejenisnya.
Rizal menegaskan masyarakat juga perlu memahami konsep sekolah yang baik atau ideal. “Sekolah yang baik itu bukan sekolah yang sebatas dapat memberikan nilai setinggi-tingginya kepada siswa,” jelasnya.
Tetapi lebih dari itu, sekolah harus bisa menjadikan siswa sebagai manusia seutuhnya.
“Menumbuhkan siswa sesuai dengan bakat dan minatnya,” katanya. Untuk menghadirkan sekolah seperti itu, harus diupayakan sekolah yang menyenangkan. Sekolah yang bisa membuat betah para siswa berada di dalamnya. Sekolah yang membuat siswa sedih ketika jam belajar berakhir atau berpisah dengan gurunya.
Menurut Rizal banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjadi sekolah yang mampu menumbuhkan minat dan bakat murid. Termasuk mencegah adanya praktik perundungan atau bully. Termasuk ketika di awal tahun pelajaran baru, kakak kelas harus bisa menjadi sahabat siswa baru.
“Bukan senior yang menakut-nakuti,” tandasnya. (*)