Pertanyaan sekarang siapakah atau perusahaan mana yang melakukan penimbunan itu belum diketahui publik secara nyata. Sebab di lokasi tak ada plang nama proyek atau plang nama pemilik lahan atau siapa yang mengerjakan penimbunan itu. Pihak terkait disarankan agar jeli dan peka untuk kasus kasus penimbunan hutan bakau karena ini demi masa depan kita semua.
Sebelumnya Kepala Pangkalan PSDKP Batam Turman Hardianto menjelaskan, imbas dari pengerusakan hutan mangrove ini tidak saja pada kehilangan kawasan hutan mangrove saja tapi juga pada ekosistem dan ancaman abrasi. Untuk itu perlu ada penyetaraan aturan tentang hutan mangrove ini antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Satu sisi KKP dalam undang-undang kelautan dan perikanan nomor 1 tahun 2014 mengatur tidak boleh ada pemanfaatan hutan mangrove yang mengakibatkan kerusakan ekosistem dan lingkungan sekitar, di sisi lain ada undang-undang kehutanan yang menyebut kawasan mangrove bukan kategori ekosistem sebagai pohon tegakan bisa dimanfaatkan dengan mengurus perizinan terkait.
“Nah disinilah masalahnya. Ada dualisme aturan yang membuat dilema. Satu pihak kita melarang, satu lagi memperbolehkan dengan perizinan yang sesuai. Perlu ada penyelarasan aturan ini. Ini yang lagi digodok semoga ada kesepakatan yang bisa menjaga kelestarian hutan mangrove ini, ” ujar Turman.
Maraknya pembabatan mangrove yang terjadi saat ini disebutkan Turman karena ada perizinan pemanfaatan mangrove di kawasan rezim darat. Untuk KKP yang dengan tegas melarang pengerusakan mangrove ini hanya di dalam garis bibir pantai yang sudah diatur dalam aturan. Namun demikian kerusakan ekosistem akibat pemanfaatan mangrove di wilayah darat ini juga sampai ke wilayah garis pantai. Ini yang akan kembali dikaji oleh KKP dengan lintas kementerian terkait agar ada penyelarasan aturan pemanfaatan bakau yang masuk kategori pohon tegakan atau masuk kawasan hutan produksi. ***